Oleh: Dwi Aini Bestari Siang itu, Ibu Suryati Ningsih, biasa disapa Ibu Ning (42 tahun), tengah bermain dengan tiga putrinya di teras rumahnya di Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember. Tak sendiri, Ia ditemani sang Ibu yang menyambut kami dengan hangat. “Neneknya ini yang sehari-hari membantu saya mengasuh anak-anak, karena suami saya bekerja di daerah lain”, ujar Ibu Ning. Putri bungsu Ibu Ning, Afifatus atau Afif (3 tahun), merupakan salah satu dari 200 balita yang berpartisipasi dalam studi uji klinis pemberian RUTF (ready-to-use therapeutic foods) lokal pada balita gizi buruk. Studi ini didanai oleh Thrasher Research Fund dan merupakan kerja sama antara Savica, Colorado State University USA, serta Lembaga Penelitian dan Pengembangan di Perancis (IRD) yang dilaksanakan pada Desember 2022 hingga Agustus 2023 di Kabupaten Jember. RUTF adalah makanan khusus yang telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan untuk anak dengan masalah gizi buruk berusia diatas 6 bulan melalui pengobatan rawat jalan. Semangat Ibu Ning dalam memperjuangkan kesehatan Afif sudah dimulai sejak sangat dini. Sejak lahir, Ibu Ning rutin membawa Afif ke posyandu di sekitar tempat tinggalnya. Ketika Afif berusia lima bulan, kader posyandu memberitahu bahwa berat badan dan tinggi badan Afif hanya mengalami sedikit kenaikan. Saat itu, Ibu Ning belum memahami penyebab terhambatnya pertumbuhan sang putri, terutama kaitannya dengan asupan gizi. Ia dan suaminya justru mengira Afif terkena Sawan, sebuah mitos yang dipercayai masyarakat setempat di mana bayi diganggu oleh makhluk halus sehingga kondisi kesehatannya tidak baik. “Kami kira waktu itu sawan, jadi dibawa lah ke tukang pijat”, kisahnya. Namun, tidak banyak perubahan yang terjadi pada Afif setelah itu. Hingga usianya yang beranjak tiga tahun, Afif juga belum dapat berdiri dan berjalan seperti anak seusianya. Saat pertama bertemu Savica pada Februari 2023, Ibu Ning setuju untuk berpartisipasi dalam studi. Baginya dan keluarga, kesehatan Afif adalah hal yang paling utama, “Karena saya mau anak saya sehat. Suami juga bilang, terus dikasih [RUTF-nya] supaya anaknya cepat sehat”. Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, Afif mengalami gizi buruk (severe wasting). Wasting adalah kondisi di mana berat badan anak lebih rendah terhadap tinggi badannya. “Karena saya mau anak saya sehat. Suami juga bilang, terus dikasih [RUTF-nya] supaya anaknya cepat sehat” Meski beberapa masalah gizi (termasuk severe wasting) secara langsung terjadi karena kekurangan asupan gizi dan infeksi penyakit akut, ada banyak faktor yang juga menentukan kondisi gizi balita, seperti status imunisasi anak, anak tidak mendapat ASI eksklusif, kesulitan mengakses layanan kesehatan, keterbatasan ekonomi, dan lainnya (Unicef, 2020). Pada kasus Ibu Ning, Ia telah memiliki kondisi anemia (kekurangan sel darah merah) sejak mengandung Afif. Setelah melahirkan, Ibu Ning juga tidak memberikan ASI eksklusif untuk putrinya. “Waktu itu ASI sedikit sekali, saya gak tahu gimana biar banyak. Kata bidan waktu itu dikasih susu [formula] saja”, kenangnya. Namun, kondisi ekonomi keluarga dan alergi susu yang diderita Afif membuat Ibu Ning hanya bisa memberikan air gula untuk Afif. Ketika Afif memasuki usia pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI), Ibu Ning jarang memberikan protein hewani sesuai dengan anjuran. Setelah mengonsumsi RUTF selama 8 minggu, Ibu Ning melihat kemajuan dalam kondisi Afif. Berat badan Afif mengalami kenaikan dari sebelumnya 6,7 kilogram saat pengukuran awal, menjadi 7,7 kilogram di minggu kedelapan dan Afif terlihat berangsur ceria. Selama terlibat dalam studi, tim Savica rutin mengunjungi Afif dan keluarganya setiap minggu. Selain memantau kondisi dan pertumbuhan Afif; tim Savica juga membagikan informasi mengenai pemberian RUTF serta menjawab berbagai pertanyaan dan kendala yang dialami terkait kesehatan dan pola makan Afif. Saat kunjungan rutin ini, keluarga Afif juga mendapat penjelasan terkait prinsip-prinsip pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) yang sesuai dengan panduan kesehatan. Tak hanya Ibu Afif yang belajar, namun sang Nenek juga ikut belajar dan mengubah kebiasaan mengenai PMBA. Jika sebelumnya Afif hanya minum air gula, kini Ibu Ning membiasakan Afif untuk minum air putih. Begitu juga dengan makanannya. Setelah berhenti mengonsumsi RUTF, Ibu Ning dan Nenek Afif berusaha memberikan makanan dengan gizi yang lebih imbang. “Saya diberi tahu untuk kasih sayur, lauk pauk, semua diganti-ganti, bisa ikan, telur. Kadang saya buat kentang dan wortel dihaluskan, diberi ikan tongkol. Macam-macam. Yang penting sedap, karena anak sudah kenal rasa”, ujar Nenek Afif. “Saya diberi tahu untuk kasih sayur, lauk pauk, semua diganti-ganti, bisa ikan, telur. Kadang saya buat kentang dan wortel dihaluskan, diberi ikan tongkol. Macam-macam. Yang penting sedap, karena anak sudah kenal rasa” Berkat partisipasinya dalam studi, Ibu Ning juga menjadi lebih termotivasi mengakses layanan kesehatan primer untuk memantau kondisi Afif dan mengikuti prosedur yang disarankan tenaga kesehatan. Ibu Ning sadar, jalan menuju kesehatan Afif bisa jadi penuh tantangan, misalnya penyakit lain yang perlu disembuhkan seperti diare berulang yang dapat menghambat proses pemulihan gizi. “Anak kurang sehat, ya karena kurang gizi juga. Karena itu, baru sehat, sakit lagi. Akhirnya nafsu makan hilang, berat turun lagi”, jelas Ibu Ning yang kini sedikit demi sedikit memahami penyebab dan risiko masalah gizi putrinya. Kini, di akhir keikutsertaannya dalam studi RUTF, keluarga Ibu Ning tengah melanjutkan perjalanan mereka dalam memperbaiki kondisi Afif. Meskipun dengan keterbatasan ekonomi yang dialami, sang Ibu dan keluarga tidak patah semangat memperjuangkan kesehatan Afif, si bungsu dari 4 bersaudara. Dengan dukungan Puskesmas, keluarga, dan para tetangga, Ibu Ning bertekad untuk terus mengupayakan yang terbaik demi Afif. “Untuk kesehatan anak, semua harus dukung. Tetangga pun dukung, kadang ikut kasih makanan yang Afif suka. Habis ini akan lanjut periksa ke dokter dan makan [sehatnya] dilanjutkan lagi”, ujar Ibu Ning sambil menatap mata wajah Afif dengan penuh harap. “Untuk kesehatan anak, semua harus dukung. Tetangga pun dukung, kadang ikut kasih makanan yang Afif suka. Habis ini akan lanjut periksa ke dokter dan makan [sehatnya] dilanjutkan lagi” Produk RUTF yang digunakan dalam studi ini dibuat oleh Pusat Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara/ Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST) bekerjasama dengan PT Javaindo dengan bahan baku yang diproduksi di Indonesia, di mana salah satu produknya diperkaya dengan biji padi. Referensi: UNICEF. Conceptual Framework on the Determinants of Maternal and Child Nutrition, 2020. https://www.unicef.org/media/113291/file/UNICEF%20Conceptual%20Framework.pdf UNICEF. Severe wasting: An overlooked child survival emergency. 2022. https://www.unicef.org/media/113291/file/UNICEF%20Conceptual%20Framework.pdf UNICEF, Kementerian Kesehatan, Bappenas. Kajian Pentingnya Produksi Massal
Farid Julianto Do you struggle with getting the best out of your PowerPoint? Do the many possible color schemes and combinations confuse you? Wonder no more as in this post we will go over five simple tips to help elevate your PowerPoint to the next level. These tips will focus on maximizing the legibility of your slides as well as their ability to maintain the audience’s attention. One: understand how the different colors on the slide can complement or contrast with each other Understanding and successfully taking advantage of colors can really help improve your PowerPoint. To do this, let’s take a look at color wheels. There are a variety of color wheels you can use, but know that the theory still applies to the other color wheels as well. Colors close to each other on the wheel are good for harmony and unity, while colors that are far apart are good for contrasts. Using the RBY-based color wheel shown in figure 1, red will have good harmony with orange while placing red next to green will give good contrast. Similarly, remember to maintain a high contrast between the font color and the background color. To keep things simple, use a dark color for the font if you have a lighter color for the background, and use a light color for the font if you have a darker color for the background. Keep in mind that ‘background color’ in this sense can also refer to any images you put on the slides. By maintaining higher contrast, you will reduce the risk of making your words illegible to your audience. For a concrete example, take a look at Figure 2. The image shows the same slide with sample text with a white font color for the text. The difference is that the left image uses a black background (high contrast) and the right uses a light background (low contrast). Two: only include the important parts of the presentation on the slide There are a variety of ways to do this. Removing images that only have the role of being ‘cute’ and/or ‘funny’, but not provide any additional information to the audience. Condensing points on the slide to only the key words of the sentence (the points can then be elaborated upon during the presentation itself). And instead of listing things in one, long point on the slide using individual bullet points instead. The reasons why this step is so important to remember include among others: There is limited space on the slide. The title of the slide can take up to thirty percent of the slide, so you want the slide to convey as much useful information as possible. Having too much information on the slide will encourage the audience to focus on your slide instead of your presentation. Having too much information on the slide will also make it likelier that you, as the presenter, will read what is on the slide instead of presenting the slide. Three: maintain consistency throughout the presentation Whenever you write too many words in a textbox in PowerPoint, the program will automatically adjust the font size to accommodate the word count. However, this will create inconsistencies in font size, and inconsistencies will potentially lead to distraction. Therefore, it is important that you maintain a consistent structure from start to finish in terms of the font type, font size, font color, background color, and positioning of text on the slide. Four: understand the importance of position on the slide This part will depend on the culture of the audience you are presenting to, but the general idea remains the same. There is a natural reading order that people grow up on and adapting your slide’s layout to benefit this will help guide your audience to view the information in the right order. The reading order in the English language is from the top-left of the screen moving to the top-right of the screen, then down to the bottom-left of the screen and finishing in the bottom-right of the screen. So, placing the more important pieces of information on the top half of the slide will help them stand out to your audience as that is where your audience will look at first. As an example, let’s take a look at Figure 3. Notice how one slide guides the audience to the point of interest on the slide (the sample text) while the other slide requires some effort to try and find the necessary information. Five: learn how to take advantage of animations and transition effects There will come a point at which the desire to make our presentation flashier comes up, and PowerPoint does provide a wide variety of options to do this. From entrance/exit effects like Grow/Shrink & Turn, Swivel, and Bounce to emphasis effects like Color Pulse and Teeter. Unfortunately, it is highly recommended you avoid these for the following reasons: These effects are a distraction to the presentation. Your audience will focus more on the flashy effects than on your presentation itself. These effects can lag out, especially if you try to use an effect for a long line of text (which you want to avoid anyway, see tip number two). These effects take a significant amount of time. Most presentations are on a strict time constraint, so wasting two to five seconds on animations might be more than you can afford. Having said this, transition effects can be helpful if used correctly. You can have more text on the screen by incorporating fade in/out effects to add and remove text on the slide, respectively. You can use one of the ‘emphasis’ effects to emphasize a certain part of the slide for your audience to pay attention to. This does not mean that you should avoid animations and transition effects completely. They can play a significant role in elevating your PowerPoint to the next level. All it takes is for you to learn and understand which parts
Dwi Aini Bestari Sebagai seorang peneliti, berhubungan dengan pemerintah adalah bagian erat dari pekerjaan saya. Beberapa tahun lalu saat menjadi asisten peneliti untuk pertama kalinya, saya diberi tugas untuk bertemu dengan perwakilan di instansi pemerintahan terkait perizinan. Status saya yang masih mahasiswi membuat beberapa orang mempertanyakan: Sejauh mana saya paham mengenai studi saya? Apakah saya paham cara kerja dan peran Instansi Pemerintah yang saya hubungi? Apa dampak positif dari studi tersebut untuk Instansi Pemerintah dan masyarakat? Ternyata, di bidang mana pun kita bekerja, bermitra dengan pemerintah butuh seni dan keterampilan tersendiri. Di Savica, kami punya diskusi internal rutin untuk membahas berbagai hal di luar project kami. Topik Government Relations ini menjadi salah satu diskusi Savicans (panggilan untuk kami yang bekerja di Savica) dan menghasilkan beberapa tips yang bisa dilakukan untuk membina hubungan yang baik dan produktif dengan pemerintah. Jadilah Adaptif Boleh jadi, kita punya gaya bekerja dan berkomunikasi yang biasa kita lakukan di lingkungan kerja kita. Tapi, hal tersebut bisa saja berbeda dan belum tentu sesuai dengan budaya di instansi pemerintah. Untuk memulai, gunakanlah bahasa dan pendekatan yang formal, serta bersikap hati-hati jika punya pendapat atau saran. Misalnya, kita mungkin pernah menemukan hal-hal dalam program kerja pemerintah yang dirasa perlu diperbaiki. Sebaiknya kita tidak langsung bersikap kritis hanya karena merasa punya pengetahuan dan kapasitas dalam hal tersebut. Ingat, rendah hati adalah kunci! Kita perlu terlebih dahulu membangun interaksi yang baik, kemudian kita bisa menyampaikan pendapat dengan sopan tanpa menggurui. Meski demikian, bukan berarti seterusnya kita harus bersikap formal dan kaku. Kita bisa menyesuaikan diri dengan melihat seperti apa karakter orang-orang yang kita temui di instansi pemerintah. Bukan tidak mungkin kita bisa membangun hubungan yang santai dan menyenangkan dengan staf atau pejabat pemerintah, dengan catatan tetap menjaga sikap dan sopan santun. Jadilah Mitra yang BisaSebuah hubungan yang baik harus bersifat saling menguntungkan. Selain fokus pada tujuan kita, penting juga untuk mempertimbangkan kontribusi apa yang dapat kita berikan bagi instansi Pemerintah. Terlebih, Pemerintah punya peran dan tanggung jawab besar demi kepentingan publik. Karena itulah, untuk mendapatkan kepercayaan dari Instansi Pemerintah, kita tidak perlu menitikberatkan jabatan atau gelar yang kita miliki, tapi dukungan apa yang bisa kita berikan dengan posisi dan pengalaman tersebut. Hal ini juga jadi sangat penting untuk dilakukan, terutama saat kita merasa ingin memberi saran dan ikut memperbaiki program kerja pemerintah seperti dibahas di poin pertama. Saran dan kritik yang kita miliki harus selalu diikuti dengan solusi dalam bentuk kontribusi sesuai bidang keahlian kita. Selain itu, jika kita tidak bisa memberi bantuan teknis secara langsung, kita juga bisa memberi dukungan dengan menghubungkan mitra pemerintah dengan jejaring yang kita miliki, seperti peneliti, akademisi, dan ahli lainnya. Let’s be resourceful! Menjaga Hubungan Baik Hubungan dan jejaring yang baik dengan Instansi Pemerintah merupakan “aset” yang berharga dan perlu dijaga. Meskipun kerja sama telah selesai, kita tetap bisa menjaga hubungan baik dengan membagi informasi-informasi yang relevan bagi Instansi Pemerintah seperti data atau hasil penelitian dan ringkasan kebijakan. Kita juga bisa melibatkan atau mengundang mitra pemerintah dalam berbagai kegiatan yang relevan dengan bidang mereka, seperti webinar, sesi diskusi, dan lain-lain. Belajar, Belajar, dan Belajar Menjalin hubungan dengan pemerintah adalah keterampilan yang bisa terus dipelajari seiring dengan bertambahnya jam terbang kita. Selain belajar melalui pengalaman sendiri alias learning by doing, kita juga bisa belajar dari tokoh panutan di sekitar kita, misalnya senior di tempat kita bekerja atau tokoh lainnya. Pengalaman dan keahlian mereka bisa menjadi referensi kita dalam menghadapi berbagai situasi saat berhadapan dengan perwakilan instansi pemerintah. *** Itu tadi beberapa tips sederhana untuk memulai dan menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah. Mengenali dengan siapa kita akan berhubungan dan bekerja sama akan menjadi awal yang baik untuk menentukan sikap dan menyesuaikan diri. Selain itu, dengan siapapun kita akan bermitra, jangan lupa untuk selalu berikap rendah hati, tulus, dan sopan. Ketiga hal tersebut akan menjadi dasar untuk menciptakan hubungan kerja yang baik dalam jangka panjang.
Dwi Aini Bestari, Aqilla Khofifah Dalam menjalankan sebuah program kerja atau kampanye, peran media sosial menjadi semakin penting seiring dengan tingginya jumlah pengguna dan relevansinya sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat. Media sosial memberikan lebih banyak ruang bagi organisasi untuk menyampaikan pesan dan informasi pada target audiens yang kita inginkan. Untuk memanfaatkan media sosial, proses pembuatan konten yang baik bukan satu-satunya hal yang perlu diperhatikan. Pada akhirnya, yang tidak kalah penting adalah mengetahui apakah pesan yang kita berikan diterima oleh masyarakat serta tujuan kita tercapai melalui media sosial. Di sinilah kita perlu melakukan analisis media sosial sebagai alat evaluasi. Bagaimana caranya? Apa saja yang bisa kita jawab melalui analisis tersebut? Indikator Mendasar dalam Analisis Media Sosial Analisis media sosial adalah proses mengumpulkan dan menelaah data dari media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan lainnya dalam kurun waktu tertentu. Data tersebut kemudian digunakan untuk membantu kita mengambil kesimpulan dan keputusan sesuai tujuan. Misalnya, sebuah komunitas di bidang gizi ingin mengetahui apakah kampanye mereka tentang pola makan sehat bagi ibu hamil berhasil mendapat perhatian target audiens, yakni para ibu dan pasangannya? Apakah isu/topik mengenai pola makan ibu hamil berhasil mengundang perbincangan dan ketertarikan bagi target audiens dan masyarakat lebih luas di media sosial? Apakah konteksnya positif, negatif, atau netral? Haruskah strategi dan konten yang dibuat dipertahankan atau diubah? Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, tentu mereka tidak bisa berasumsi hanya dengan melihat sekilas saja. Dalam analisis media sosial, ada beberapa informasi yang dapat kita sebut sebagai data. Berikut beberapa informasi mendasar yang dapat digunakan untuk melakukan analisis media sosial sederhana: Follower Profiles (Profil Pengikut) Selain mengamati jumlah pengikut akun kita secara berkala, kita perlu melihat profil pengikut akun kita untuk tahu apakah profil mereka sesuai dengan target audiens. Beberapa platform media sosial menyediakan data profil yang mencakup jenis kelamin, rentang usia, lokasi geografis, hingga waktu aktif dari audiens kita. Reach (Jangkauan) dan Impression (Impresi) Impresi menunjukkan berapa kali sebuah konten muncul di beranda atau lini masa seseorang. Selanjutnya, jangkauan memperlihatkan jumlah pengguna unik yang berpotensi melihat konten tersebut. Jumlah jangkauan biasanya didapatkan dari jumlah pengikut akun kita ditambah dengan jumlah akun yang membagikan konten. Dua hal ini sangat bermanfaat untuk dilihat, terlebih jika kita ingin fokus pada pengetahuan audiens mengenai organisasi atau topik yang kita angkat (awareness) dan persepsi audiens terhadap kita. Engagement Jika jangkauan dan impresi fokus pada potensi sebuah konten dilihat, Engagement lebih jauh lagi menunjukkan berapa banyak audiens yang melakukan interaksi terhadap suatu konten, misalnya dengan cara menyukai konten (likes), mengomentari konten, atau membagikan konten. Jangkauan konten yang luas perlu diimbangi dengan audiens yang benar-benar tertarik dengan konten. Engagement bisa mengindikasikan apakah konten yang kita buat memiliki kualitas atau daya tarik yang cukup bagi audiens. Jika jumlah klik dan kunjungan tinggi namun likes rendah, artinya kita perlu memikirkan ulang konten yang dibuat. “Brand”/ Account mentions Indikator ini bisa menunjukkan seberapa sering akun atau kampanye kita disebutkan oleh audiens di media sosial baik melalui fitur penanda (tag), mention, hashtag, ataupun menyebutkan kata kunci terkait dalam perbincangan audiens. Indikator ini juga bisa sekaligus digunakan untuk melihat sentimen audiens pada perbincangan di media sosial, yaitu positif, negatif, maupun netral. Di mana mendapatkan data untuk analisis? Kabar baiknya, analisis media sosial sederhana dengan indikator-indikator dasar seperti di atas bisa dilakukan tanpa tools khusus. Platform media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Youtube menyediakan fitur untuk melihat insights dari akun dan konten kita. Berikut fitur bawaan yang dapat digunakan dan informasi yang ditawarkan: Facebook Insight Facebook insight adalah salah satu layanan dari Facebook yang berfungsi meninjau kebutuhan audiens dalam suatu fanpage. Di dalam layanan ini terdapat data seperti jumlah halaman dan konten dilihat/tayang, likes, reach, rekomendasi, dan profil pengikut halaman fanpage. Instagram Insight Instagram insight adalah salah satu layanan yang memberikan informasi terkait profil pengikut serta engagement, reach, dan impression yang didapatkan dari sebuah konten. Layanan ini juga bisa memberi informasi tentang kapan waktu yang tepat untuk mengunggah konten bila disesuaikan dengan tipe audiens yang diinginkan. Youtube Analytics Youtube analytics adalah fitur untuk melihat engagement terkait video. Dalam layanan ini, terdapat fitur seperti diagram garis dan batang untuk mengamati analytics di video, mampu mendapatkan data yang lebih spesifik, membandingkan performa antar video, dan mengekspor data. *** Itu tadi cara melakukan analisis media sosial sederhana, informasi yang diperlukan untuk menjalankannya, serta hal-hal yang dapat kita simpulkan dari hasil analisis tersebut. Tentu, masih banyak insights lain yang lebih kompleks dan rinci yang bisa didapatkan dengan menggunakan tools tambahan. Tapi, paling tidak artikel ini dapat membantu Anda yang baru saja merintis akun media sosial dengan sumber daya yang terbatas. Selamat mencoba!
Dwi Aini Bestari Selama setahun lebih, pandemi menuntut kita untuk mengadopsi kebiasaan baru dan melakukan rutinitas kita dengan cara yang berbeda. Di tengah berbagai ketidakpastian selama pandemi, salah satu tren perilaku yang muncul di tengah masyarakat adalah semakin seringnya masyarakat menggunakan internet, baik untuk melakukan kegiatan belajar dan bekerja jarak jauh, maupun untuk mengakses situs belanja online dan media sosial. Data dari We are Social menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengguna media sosial aktif di Indonesia, dari 150 juta pengguna di tahun 2020 menjadi 170 juta pengguna yang tercatat pada Januari 2021, dengan durasi penggunaan rata-rata selama lebih dari 3 jam. Tren ini memicu berbagai kajian dan kekhawatiran terkait rentannya kesehatan mental para pengguna media sosial, di antaranya pengalaman-pengalaman yang terkait dengan kecemasan, rasa takut “tertinggal” atau Fear Of Missing Out (FOMO), hingga rendahnya kepuasan terhadap hidup dan diri sendiri. Bagaimana sebenarnya media sosial berpengaruh pada kesehatan mental kita? Media Sosial dan Realita “Semu” Seperti disebut sebelumnya, salah satu bentuk kecemasan yang timbul dari penggunaan media sosial berlebihan adalah rasa cemas, FOMO dan rendahnya kepuasan pada diri. Hal ini dipicu oleh berbagai gambaran mengenai orang yang dilihat di media sosial, baik melalui teks, foto, dan video. Tak bisa dipungkiri, salah satu hal menyenangkan tentang media sosial adalah saat kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh pengguna lain. Saya sendiri sering mencari hiburan di Instagram untuk sekadar menonton video-video lucu atau melihat aktivitas teman-teman dan keluarga yang saya rindukan. Tapi, apakah kita tahu bahwa apa yang nampak di media sosial bisa jadi bukan keadaan yang sebenarnya? Menurut Ervin Goffman melalui teorinya presentation of the online self, media sosial adalah front stage di mana seseorang bisa mengekspresikan dan mengeksplor dirinya sesuai dengan apa yang ingin ia tampilkan pada audiens. Sebaliknya, seseorang juga memiliki versi diri back stage di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Ketika tampil di depan “panggung” media sosial, tentu saja banyak orang ingin menampilkan versi terbaik diri mereka dalam berbagai hal. Apalagi, respon orang lain terhadap representasi diri kita bisa dengan mudah dilihat melalui jumlah likes, komentar, atau pengikut akun. Ketika ada banyak orang yang berusaha tampil sempurna di media sosial, di sisi lain, ada juga para pengguna lain yang menghadapi kecemasan saat melihat orang lain melalui jendela media sosial mereka, mulai dari penampilan, pekerjaan, hingga kondisi finansialnya. Mungkin kita pernah merasa hidup kita sangat biasa-biasa saja dibandingkan hal-hal seru yang ditampilkan orang lain di media sosial setiap harinya. Padahal, ada banyak ketidaksempurnaan yang tak selalu ditampilkan di front stage mereka. Apalagi saat ini, media sosial sudah begitu terintegrasi dengan bisnis dan iklan berbagai produk, termasuk yang dilakukan secara halus bahkan terselubung melalui akun personal (endorsement). Akhirnya, kita jadi memiliki standar tertentu mengenai penampilan kesuksesan, tempat tinggal, dan hal lainnya, yang pada akhirnya membuat kita merasa tidak puas dengan yang kita miliki. Karena itu, bukan hanya foto atau video yang bisa diperindah melalui filter, tapi juga realita yang tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya. Menciptakan Kembali Media Sosial yang Nyaman dan Menenangkan Meski hal-hal di atas mengingatkan kita pada sisi gelap media sosial, bukan berarti kita harus sepenuhnya bermusuhan dengan media sosial selama pandemi. Menurut Bailey Parnell, pengalaman kita menggunakan media sosial juga dapat dibentuk oleh diri kita sendiri. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memiliki pengalaman yang lebih positif dengan media sosial, terutama selama pandemi ini. Berikut langkah-langkahnya. Pertama, batasi waktu (screen time) kita mengakses media sosial. Meski banyak dari kita yang melakukan WFH dan harus melihat layar handphone atau computer lebih sering, buat aturan bagi diri sendiri tentang aplikasi atau situs apa saja yang boleh kita akses selama bekerja. Sisihkan waktu beberapa menit saja untuk sesekali mengakses media sosial di waktu istirahat. Kedua, kita bisa melakukan audit atau memeriksa “asupan” media sosial kita. Seperti juga asupan makanan, kita perlu mengecek dan memilih apa yang masuk ke dalam pikiran dan hati kita melalui media sosial. Tanyakan pada diri kita “Apakah scrolling Facebook membuat perasaan lebih baik atau sebaliknya? Berapa kali saya terus mengecek jumlah likes yang didapat? Siapa yang memberi pengaruh negatif pada perasaan saya di Instagram?”, dan lain-lain. Selanjutnya, kita bisa menyaring jejaring pertemanan dan interaksi kita di media sosial. Jika media sosial membuat kita terus cemas dan tidak puas pada diri sendiri setelah melihat kehidupan teman lain atau selebriti misalnya, kita bisa “menghapus” mereka dari daftar teman atau orang yang diikuti. Ingat, bahkan saat kita berteman dengan seseorang di dunia “nyata”, kita tidak punya kewajiban untuk berteman di dunia maya lho jika hal itu hanya membuat kita “lelah”. Terakhir, kita bisa fokus pada hal-hal positif yang bisa dilakukan di media sosial seperti mengikuti kegiatan komunitas atau mencari informasi seputar hobi dan keterampilan lainnya. Misalnya, selama pandemi ini, ada banyak akun di media sosial yang memberikan informasi dan kegiatan gratis mengenai olahraga, bercocok tanam sederhana di rumah, dan lainnya. Dengan demikian, insights dan ilmu yang kita dapat di media sosial bukan hanya akan membuat pengalaman daring kita lebih positif, tapi bisa diaplikasikan di kehidupan kita sehari-hari. Jadi, selama pandemi social distancing saja tidak cukup. Saatnya kita juga membuat jarak virtual yang sehat dengan lingkungan dan berbagai informasinya. Selamat mencoba dan mendapat pengalaman bermedia sosial yang lebih baik!
Dwi Aini Bestari The use of communication to create behavior change is not new, especially in public health. Approaches used in this process have evolved from focusing on individual behavior change to a broader scope of social and behavior change; referred as SBCC. SBCC is the strategic use of communication to change behaviors “by positively influencing knowledge, attitudes, and social norms”. It combines multiple communication channels to reach various levels of society. SBCC adopts the conceptual framework from the Socio-Ecological Model (SEM), the underlying principle of which is that individual behavior is influenced by different levels of society that can facilitate or obstruct the desired change. As Indonesia’s first public health and communication consultancy, Savica has previous experience with SBCC related projects. One of our projects was assisting SurfAid in developing a SBCC strategy and materials to increase the rate of mothers who give exclusive breastfeeding for 6 months in Nias district, North Sumatera province in 2019. Using a co-creation approach, training participants were not only exposed to information on SBCC but they were also directly involved in a practice to develop SBCC strategy. All ideas, information, and input from the training were then used to develop their own SBCC strategy on exclusive breastfeeding program for two subdistricts (Gido and Hiliduho). Since a SBCC strategy should be developed based on evidence, a rapid assessment was conducted in both subdistricts prior to the training. Data showed that the problems women faced were not limited to a lack of knowledge on exclusive breastfeeding, but were also related to cultural barriers, support from families, limited capacity of local health workers and insufficient health facilities in terms of numbers and qualities. Sadly, many women face a similar situation, including myself, living in an urban area. My baby was 3 months old when I had problems with breastfeeding. As a new mother, I was extremely confused. I thought about purchasing formula milk after a senior family member told me my baby might not like my milk. I ended up visiting a lactation counsellor, and I remember she asked, “Do you want to keep breastfeeding him? For how long?”, to which I immediately replied, “Yes, maybe a year? or more?”. Honestly, I did not know then. I never really learned about breastfeeding until I actually had to do it. Nobody told me why it was crucial and how it had to be done; not the obstetricians during my pregnancy and not even the pediatrician who was in charge of my baby after delivery. In the larger context of Indonesia, breastfeeding has indeed been a challenging process for women. UNICEF and WHO revealed that only 1 in 2 infants below 6 months old receive exclusive breastfeeding. Throughout the years, efforts have been made to encourage mothers to exclusively breastfeed through government policy, education/ information distribution, and more. However, we still have a long way to go. Creating an Enabling Environment and Behavior Change in the Long Run In promoting exclusive breastfeeding, SBCC can be used to firstly identify the different challenges at each level of society, as illustrated by the examples from Nias and my personal experience. We cannot only focus on messages/ information around exclusive breastfeeding such as posters, video campaign and modules, but should also combine engaging, involving and building capacities of communities and organizational level. Nowadays, the internet and social media platforms have opened more channels for the government and various communities to promote exclusive breastfeeding. Ayah ASI, (Breastfeeding – Supporting Fathers) is an excellent example and considered successful in promoting exclusive breastfeeding through the participation of fathers. Using social media, Ayah ASI has increased knowledge about breastfeeding among the general public. Its shares science-based information to correct existing myths in a casual and fun way, answer common questions about breastfeeding from its followers and more. However, to achieve positive behavior changes toward exclusive breastfeeding in the long run, initiatives like Ayah ASI need to be engaged by the government and be part of a systematic national strategy. Most importantly, an enabling environment needs to be created, where national and local policies on adequate maternity and paternity leave, availability of nursing rooms in public and working space, and formula milk marketing restriction are consistently endorsed and enforced.