Penulis Dwi Aini Bestari
Seolah serasi dengan jargon “Bogor kota hujan”, siang itu gerimis menemani kunjungan Savica ke rumah Ibu Neneng (28 tahun), Ibu dari balita bernama Zaara (21 bulan) di Kecamatan Sukaraja, Bogor. Butuh beberapa waktu hingga Ia membukakan pintu kontrakannya dan menyambut kami dengan senyum ramah. Ternyata, Bu Neneng tengah sibuk menyuapi sang putri dengan makanan sederhana kesukaannya, nasi dan ikan lele. “Ini sedang coba pelan-pelan lagi diperkenalkan makanan biasa. Sebelumnya Zaara suka sekali lele, bisa habis satu ekor sendiri”, ujarnya.
Zaara adalah satu dari 302 balita yang berpartisipasi dalam studi penerimaan dan efikasi Ready-to-Use Therapeutic Food (RUTF) pada balita gizi buruk yang dilaksanakan di Kabupaten Bogor pada Juni hingga Desember 2021. RUTF merupakan produk makanan terapi padat energi, kaya mineral dan vitamin yang dirancang khusus untuk balita dengan gizi buruk. RUTF telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF sebagai produk standar untuk tata laksana gizi buruk pada pasien rawat jalan. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI telah merekomendasikan penggunaan RUTF di Indonesia yang tertuang dalam Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita di Indonesia.
Studi ini merupakan kerja sama antara Kementerian Kesehatan , Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehata, UNICEF, Institut Pertanian Bogor dan Savica. Selama studi berjalan, Savica memberikan terapi kepada balita gizi buruk yang terlibat dalam studi dengan memberikan RUTF sebagai pengganti makanan balita selama delapan minggu. Selain memberikan produk tersebut, tim Savica juga secara intensif memantau pertumbuhan dan perkembangan balita melalui program kunjungan yang dilakukan oleh petugas lapangan Savica setiap minggu. Pemantauan yang dilakukan meliputi pengukuran berat badan, lingkar lengan atas (LiLA), dan tinggi badan (TB). Selain melakukan pengukuran, petugas lapangan selalu menginformasikan status gizi balita kepada ibu/pengasuhnya dan memberikan edukasi tentang pemberian RUTF dan cara pemberian makan pada balita sesuai dengan perkembangan balita. Petugas juga mendengarkan setiap keluhan dan masalah yang dihadapi ibu/pengasuh dalam memberikan RUTF serta mendikusikan bersama solusi untuk masialah tersebut.
Sejak usia 3 bulan, Ibu Neneng menyadari pertumbuhan Zaara tidak sesuai dengan grafik yang seharusnya. Hal ini ditandai dengan kurangnya kenaikan berat badan setiap bulan. “Dari usia 2 bulan ke 3 bulan itu hanya bertambah 400 gram. Apalagi saat mulai MPASI (makanan pendamping ASI) itu susah sekali naik [berat badannya]”, kata Bu Neneng. Pemberian ASI dan MPASI memang menjadi tantangan bagi Bu Neneng. Jam kerjanya yang panjang dan tak menentu sebagai pramuniaga kala itu membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan ASI perah untuk Zaara. Ditambah lagi, ketidaktahuannya mengenai gizi MPASI yang baik membuatnya hanya memberi Zaara bubur fortifikasi hingga usianya 10 bulan.
Khawatir akan kondisi Zaara, Bu Neneng memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan fokus pada perbaikan gizi Zaara. Para kader Posyandu dan sesama Ibu di komunitas tumbuh kembang anak yang Ia ikuti melalui Facebook membuatnya sadar bahwa permasalahan tumbuh kembang ini bukan hal sepele. Mereka pun mendorongnya untuk memeriksakan kondisi Zaara lebih jauh. Hanya saja, upaya tersebut terkendala biaya sehingga belum ada perubahan berarti yang dilihatnya pada kondisi Zaara.
Hingga akhirnya pada Agustus 2021, di tengah usahanya, Bu Neneng berpartisipasi dalam studi Savica. Setelah diukur berat dan tinggi badannya, Zaara dinyatakan gizi buruk (sangat kurus) karena berat badan (BB) tidak sesuai dengan tinggi badannya (TB). Di Indonesia, ada lebih dari dua juta anak yang menderita gizi buruk atau severe wasting. Kabupaten Bogor sendiri menyumbang 11,47% kasus gizi buruk di Provinsi Jawa Barat pada 2020. Gizi buruk yang tidak ditangani bisa menghambat pertumbuhan fisik dan kemampuan kognitif, membuat anak rentan terkena penyakit, hingga menyebabkan kematian. Meski demikian, tidak semua orang tua memahami tanda, bahaya dan tindakan yang perlu diambil saat anak mereka terkena gizi buruk.
Pada kasus Bu Neneng, misalnya. Meskipun dirinya tahu akan pentingnya mewaspadai masalah gizi pada putrinya, Ia belum begitu paham mengenai penanganan gizi buruk. Saat anaknya ditawarkan menerima terapi makanan RUTF sebagai salah satu intervensi gizi buruk, Ia tak bisa menampik keraguannya, “Awalnya juga saya tidak percaya. Tapi saya jadi yakin karena ada pendampingan dari Posyandu, ada juga ahli gizi Puskesmas. Katanya gak apa-apa ini bagus, lanjutkan aja”, ujarnya. Keyakinannya semakin bertambah ketika berat Zaara naik sebanyak 500 gram pada satu minggu pertama setelah konsumsi RUTF.
Namun, perjalanannya tidak semulus yang Ia harapkan. Setelah satu bulan berlalu, Ia harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari sang anak yang bosan dengan makanan RUTF, hingga keluarga yang meragukan pemberian RUTF pada Zaara. “Tantangannya adalah membuat Zaara mau tetap makan, karena saat sebulan itu dia udah mulai bosan. Belum lagi keluarga, mereka kan tidak paham dan pemikirannya masih kolot. Kok anak diberi makan ini, mustinya nasi”.
Beruntung, hal-hal tersebut tidak mematahkan semangat Bu Neneng. Dengan pendampingan petugas lapangan Savica, Ia mencoba berbagai cara, misalnya dengan mengakali pemberian RUTF di tengah aktivitas Zaara agar tidak bosan, “Memang harus sabar, harus telaten. Saya suka perhatikan saja kondisinya. Kalau kelihatannya dia kenyang dan bosan, ya sudah saya beri jeda satu jam. Nanti kalau dia sedang asyik main, saya sambil suapi, dia mau”, kisahnya. Jika Bu Neneng mulai lelah dan hilang kesabaran, Ia mencoba melibatkan suami dalam pemberian RUTF.
Selain itu, Bu Neneng juga memiliki trik sendiri untuk meyakinkan keluarganya yang tidak menyetujui keputusannya untuk memberi terapi RUTF pada Zaara. Ketika anggota keluarganya masih yakin bahwa makanan terbaik bagi Zaara adalah nasi, Ia berusaha mengedukasi keluarganya dengan informasi yang Ia dapat mengenai macam-macam zat gizi dan berbagai sumbernya, “Kalau saya sudah baca-baca dan dapat penjelasan yang pas, saya screenshot dan tunjukkan ke keluarga. Biar keluarga bisa paham kalau jaman dulu dan sekarang beda”.
Selain tantangan di tingkat individu dan keluarga, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi orang tua dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi buruk pada balita. Data dari Kementerian Kesehatan misalnya mengungkap beberapa masalah, seperti kesenjangan jumlah dan kualitas layanan fasilitas kesehatan, kesenjangan jumlah dan kualitas tenaga kesehatan dan kader, hingga kepercayaan/ tradisi soal makanan (food taboo).
Hal ini senada dengan pengalaman Bu Neneng, “Karena pandemi kan jadi jarang juga ke Posyandu. Tidak semua kader bisa rutin memeriksa perkembangan Zaara. Tapi saya tetap bisa dapat banyak informasi dari komunitas daring saya dan dari Savica”, ungkapnya dengan semangat.
Cerita dan pengalaman Bu Neneng memperlihatkan bahwa pada lingkup terkecil, lingkungan dan komunitas memiliki peran penting. Tidak hanya memberdayakan Ibu dengan pengetahuan terkait gizi, kehadiran mereka juga mampu memberi dukungan moril bagi para Ibu untuk keberlanjutan pencegahan maupun penanggulangan gizi buruk. “[dalam mengupayakan pemulihan balita gizi buruk]. Yang pasti orang tua ingin disemangati, misalnya dapat masukan dan pengetahuan, bukan hanya dapat komentar yang menyakitkan kalau anak saya kurus”, ujar Bu Neneng.
Selama menjadi bagian dari studi RUTF bersama sang putri, Bu Neneng mengaku banyak mendapat pelajaran berharga terkait gizi dan tumbuh kembang anak, “[Saya] dapat pelajaran baru, ternyata sangat penting protein hewani untuk pertumbuhan badannya, karbohidrat seperti nasi untuk energinya… kalau tidak bisa beli daging, telur pun bisa, ikan juga murah dan mudah diolah”.
Di akhir keikutsertaannya dalam studi RUTF, sudah dinyatakan normal. Berat badannya naik sebanyak 1,2 kg dalam kurun waktu delapan minggu. Kini, Bu Neneng bertekad menjaga pertumbuhan anaknya agar tetap normal dan sehat. Bukan hanya untuk Zaara, tapi juga anak kedua yang tengah dititipkan dalam perutnya.
“Untuk anak kedua nanti, saya sudah punya pengalaman dan ilmu. Pokoknya sekarang saya sudah paham dan niat memberikan ASI yang baik sejak awal, juga memperkenalkan MPASI menu lengkap dan sehat”, kata Bu Neneng penuh semangat. Selain itu, dirinya juga berharap bisa terus membagi ilmu dan pengalaman yang Ia dapat pada orang tua lain, baik di lingkungan sekitarnya maupun pada komunitas daringnya agar tak ada lagi balita dengan gizi buruk.