Dwi Aini Bestari

Selama setahun lebih, pandemi menuntut kita untuk mengadopsi kebiasaan baru dan melakukan rutinitas kita dengan cara yang berbeda. Di tengah berbagai ketidakpastian selama pandemi, salah satu tren perilaku yang muncul di tengah masyarakat adalah semakin seringnya masyarakat menggunakan internet, baik untuk melakukan kegiatan belajar dan bekerja jarak jauh, maupun untuk mengakses situs belanja online dan media sosial. Data dari We are Social menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengguna media sosial aktif di Indonesia, dari 150 juta pengguna di tahun 2020 menjadi 170 juta pengguna yang tercatat pada Januari 2021, dengan durasi penggunaan rata-rata selama lebih dari 3 jam. Tren ini memicu berbagai kajian dan kekhawatiran terkait rentannya kesehatan mental para pengguna media sosial, di antaranya pengalaman-pengalaman yang terkait dengan kecemasan, rasa takut “tertinggal” atau Fear Of Missing Out (FOMO), hingga rendahnya kepuasan terhadap hidup dan diri sendiri. Bagaimana sebenarnya media sosial berpengaruh pada kesehatan mental kita?

Media Sosial dan Realita “Semu”

Seperti disebut sebelumnya, salah satu bentuk kecemasan yang timbul dari penggunaan media sosial berlebihan adalah rasa cemas, FOMO dan rendahnya kepuasan pada diri. Hal ini dipicu oleh berbagai gambaran mengenai orang yang dilihat di media sosial, baik melalui teks, foto, dan video. Tak bisa dipungkiri, salah satu hal menyenangkan tentang media sosial adalah saat kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh pengguna lain. Saya sendiri sering mencari hiburan di Instagram untuk sekadar menonton video-video lucu atau melihat aktivitas teman-teman dan keluarga yang saya rindukan. Tapi, apakah kita tahu bahwa apa yang nampak di media sosial bisa jadi bukan keadaan yang sebenarnya?

Menurut Ervin Goffman melalui teorinya presentation of the online self, media sosial adalah front stage di mana seseorang bisa mengekspresikan dan mengeksplor dirinya sesuai dengan apa yang ingin ia tampilkan pada audiens. Sebaliknya, seseorang juga memiliki versi diri back stage di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Ketika tampil di depan “panggung” media sosial, tentu saja banyak orang ingin menampilkan versi terbaik diri mereka dalam berbagai hal. Apalagi, respon orang lain terhadap representasi diri kita bisa dengan mudah dilihat melalui jumlah likes, komentar, atau pengikut akun. Ketika ada banyak orang yang berusaha tampil sempurna di media sosial, di sisi lain, ada juga para pengguna lain yang menghadapi kecemasan saat melihat orang lain melalui jendela media sosial mereka, mulai dari penampilan, pekerjaan, hingga kondisi finansialnya.

 

Photo Credit: Canva

 

Mungkin kita pernah merasa hidup kita sangat biasa-biasa saja dibandingkan hal-hal seru yang ditampilkan orang lain di media sosial setiap harinya. Padahal, ada banyak ketidaksempurnaan yang tak selalu ditampilkan di front stage mereka. Apalagi saat ini, media sosial sudah begitu terintegrasi dengan bisnis dan iklan berbagai produk, termasuk yang dilakukan secara halus bahkan terselubung melalui akun personal (endorsement). Akhirnya, kita jadi memiliki standar tertentu mengenai penampilan kesuksesan, tempat tinggal, dan hal lainnya, yang pada akhirnya membuat kita merasa tidak puas dengan yang kita miliki. Karena itu, bukan hanya foto atau video yang bisa diperindah melalui filter, tapi juga realita yang tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya.

Menciptakan Kembali Media Sosial yang Nyaman dan Menenangkan

 

Photo Credit: Canva

 

Meski hal-hal di atas mengingatkan kita pada sisi gelap media sosial, bukan berarti kita harus sepenuhnya bermusuhan dengan media sosial selama pandemi. Menurut Bailey Parnell, pengalaman kita menggunakan media sosial juga dapat dibentuk oleh diri kita sendiri. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memiliki pengalaman yang lebih positif dengan media sosial, terutama selama pandemi ini. Berikut langkah-langkahnya.

  1. Pertama, batasi waktu (screen time) kita mengakses media sosial. Meski banyak dari kita yang melakukan WFH dan harus melihat layar handphone atau computer lebih sering, buat aturan bagi diri sendiri tentang aplikasi atau situs apa saja yang boleh kita akses selama bekerja. Sisihkan waktu beberapa menit saja untuk sesekali mengakses media sosial di waktu istirahat.
  2. Kedua, kita bisa melakukan audit atau memeriksa “asupan” media sosial kita. Seperti juga asupan makanan, kita perlu mengecek dan memilih apa yang masuk ke dalam pikiran dan hati kita melalui media sosial. Tanyakan pada diri kita “Apakah scrolling Facebook membuat perasaan lebih baik atau sebaliknya? Berapa kali saya terus mengecek jumlah likes yang didapat? Siapa yang memberi pengaruh negatif pada perasaan saya di Instagram?”, dan lain-lain.
  3. Selanjutnya, kita bisa menyaring jejaring pertemanan dan interaksi kita di media sosial. Jika media sosial membuat kita terus cemas dan tidak puas pada diri sendiri setelah melihat kehidupan teman lain atau selebriti misalnya, kita bisa “menghapus” mereka dari daftar teman atau orang yang diikuti. Ingat, bahkan saat kita berteman dengan seseorang di dunia “nyata”, kita tidak punya kewajiban untuk berteman di dunia maya lho jika hal itu hanya membuat kita “lelah”.
  4. Terakhir, kita bisa fokus pada hal-hal positif yang bisa dilakukan di media sosial seperti mengikuti kegiatan komunitas atau mencari informasi seputar hobi dan keterampilan lainnya. Misalnya, selama pandemi ini, ada banyak akun di media sosial yang memberikan informasi dan kegiatan gratis mengenai olahraga, bercocok tanam sederhana di rumah, dan lainnya. Dengan demikian, insights dan ilmu yang kita dapat di media sosial bukan hanya akan membuat pengalaman daring kita lebih positif, tapi bisa diaplikasikan di kehidupan kita sehari-hari.

Jadi, selama pandemi social distancing saja tidak cukup. Saatnya kita juga membuat jarak virtual yang sehat dengan lingkungan dan berbagai informasinya. Selamat mencoba dan mendapat pengalaman bermedia sosial yang lebih baik!